Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2024 kembali menjadi perbincangan hangat.
Sistem zonasi menjadi problem yang bisa dikatakan bukan hal baru. Di satu sisi, sistem zonasi
diharapkan dapat pemerataan akses pendidikan dan mengurangi kesenjangan. Di sisi lain, akibat adanya sistem zonasi ini, banyak siswa yang memiliki nilai akademik yang baik bahkan memiliki prestasi harus tersingkir akibat sistem zonasi ini.
Beberapa hari terakhir muncul banyak berita bersliweran yang berisi tentang protes orang tua murid terhadap hasil seleksi, bahkan ada yang sampai demo di depan sekolahan hingga ada orang tua calon murid yang nekat melakukan penggembokan gerbang sekolah.
Problem PPDB ini sudah lama sebenarnya, banyak yang kurang setuju, termasuk saya sebagai penulis disini, dengan sistem zonasi yang proses seleksi khususnya SMA hanya berdasarkan jarak rumah terhadap sekolah. Lebih mengherankan lagi Dinas terkait bahkan kementrian terkait terkesan berdiam diri dengan agendanya masing2. Memang setiap kebijakan tidak dapat memuaskan semua orang, tapi jika kita lihat perkembangan dunia pendidikan saat ini, terlihat seperti di 'nina bobokkan', redupnya kompetisi yang akhirnya mencetak generasi rebahan.
Jika berkaca pada PPDB jaman saya sekolah tahun 2008 s/d 2011 atau saat masih ada Ujian Nasional, sangat terasa persaingan para murid untuk mendapatkan sekolah Negeri yang bagus bahkan skolah Favorit. hal tersebut secara tidak langsung membentuk generasi yang unggul, dimana mereka dididik untuk bersaing supaya mendapatkan apa yang mereka inginkan, dididik untuk berusaha untuk mencapai keinginan mereka dalam memilih sekolah.
Cita-cita pemerataan pendidikan dalam implementasinya sangat sulit. bayangkan di Semarang, rata2 SMA negeri yang memiliki fasilitas yang lengkap lokasinya berada di pusat kota. padahal kita tahu banyak warga yang tinggal di pinggiran kota. akhirnya demi memenuhi kuota yang tersedia, sekolah tidak ada penyaringan secara akademik, namun hanya berdasarkan jarak sekolah, akibatnya calon murid yang nilai akademik dibawah rata2, bahkan calon murid yang bisa dikatakan tidak ada semangat belajar atau bersekolah bisa diterima di sekolah negeri. Bagi saya sangat disayangkan, kenapa? kuota yang seharusnya untuk para siswa yang memiliki semangat belajar, harus tergerus oleh siswa2 yang kualitasnya dibawah rata2, bahkan ketika diterima tidak jarang mereka justru menjadi biang kerok siswa bolos bahkan melakukan kegiatan2 yang melanggar aturan sekolah.
Sudah saatnya merubah sistem yang ada. Menghilangkan sistem zonasi dan mulai menggunakan tes tertulis sebagai jalan atau sistem seleksi masuk sekolah negeri. jangan sampai kuota yang ada di isi oleh siswa yang tidak memiliki semangat belajar, yang justru menjadi beban di sekolahan. Harus ada kompetisi untuk membentuk generasi yang unggul, tidak hanya mengandalkan orang tua yang punya tempat tinggal tengah kota,meskipun banyak juga problem yang belum saya uraikan, tapi setidaknya bisa membuka mata kita. Tanpa kompetisi generasi selanjutnya akan santai2 saja, dan akhirnya akan mencetak generasi yang biasa saja atau bahkan dibawah standar.
Kompetisi itu perlu, karena ketika memasuki angkatan kerja, semua harus bersaing untuk mendapatkan posisi, meski kadang ada saja yang menggunakan jalan pintas orang dalam (kemungkinan mereka2 yang terbantu sistem zonasi, hehehe).
Tulisan selanjutnya mungkin akan dibahas antara harapan dan kenyataan Mas Mentri Pendidikan, Nadiem Makarim...
0 Comments
komentarmu, aku tunggu! no spam!